BACA JUGA:Ciptakan Pemilu Aman dan Kondusif, Bawaslu Mesuji Gelar Deklarasi Damai
Selanjutnya, sambung Limbong penerbitan sertifikat hak atas tanah yang masih terdapat penguasaan pihak lain pada tanah tersebut menyebabkan sertifikat hak atas tanah menjadi cacat hukum administrasi sesuai pasal 107 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
Demikian pula pada pasal 35 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan Dan Penyelesaian Kasus Pertanahan Bahwa kesalahan tersebut diatas merupakan cacat administrasi dan/atau cacat yuridis yang mengakibatkan pembatalan sertifikat hak atas tanah.
Terakhir, kata Limbong pengembalian tanah yang diserobot pihak lain yang menguasai tanah tanpa hak wajib dilakukan pengembaliannya kepada yang berhak sebagaimana ditegaskan Dalan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor:10424 tanggal 10 Pebruari 1999 yang ditujukan kepada Gubernur KDH Ibu Kota Jakarta, Bupati, Kepala Kanwil BPN Propinsi dan Para Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.
Anton juga menegaskan bahwa Kelompok Tani Manunggal telah melakukan upaya hukum terkait masalah ini. Mereka mengajukan gugatan perdata pada tahun 1999 dan 2005 di Pengadilan Negeri Bengkalis. Namun, upaya hukum mereka tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Pada tahun 2006, mereka juga mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK), namun upaya ini lagi-lagi tidak membuahkan hasil.
"Putusan ini tidak memberikan keadilan bagi klien kami [Kelompok Tani Manunggal]. Meski kami tetap menghormatinya. Namun kami tidak akan menyerah begitu saja. Kasus ini akan terus kami perjuangkan dengan bukti bukti atau novum yang kami miliki," ungkap Anton kepada media, Senin (13/11/2023).
Atas tindakan sewenang-wenang PT MSSP pada tahun 1999 Kelompok Tani Manunggal melalui kuasa hukum B Anton Situmorang SH mengajukan Gugatan Perdata di Pengadilan Negeri Bengkalis, dengan Nomor : 06 / Pdt.G/1999/ PN/BKS. Sidang putusan tertanggal 20 April 2000.
Kemudian pada tahun 2005 Kelompok Tani Manunggal kembali lagi mengajukan gugatan perdata, dengan nomor : 16 /Pdt.G/2005/PN.Bengkalis dan putusannya Ne bis In iderm.
Terkait Putusan Pengadilan tersebut diatas, Kelompok Tani Manunggal berpendapat Putusan Pengadilan tersebut sarat dengan praktek Mafia hukum / Mafia Peradilan, khususnya Putusan Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali.
"Putusan ini sarat dengan praktek mafia hukum atau mafia peradilan. Kami akan terus menyuarakan ini untuk mendapatkan keadilan bagi klien kami Kelompok Tani Manunggal," kata B Anton Situmorang.
Kelompok Tani Manunggal kata Anton akan kembali melakukan upaya hukum PK. Adapun dasar yang diajukan sebagai bukti baru (Novum) dalam PK nanti salah satunya berupa surat Team Inventarisasi Pembantu Okupasi PT. Meridan Sejati Surya Plantation Kebun Sei Pingai tertanggal 10 Agustus 2000.
Menurut Anton didalam surat tersebut dijelaskan, bahwa data sisa Okupasi yang belum dibebaskan s / d Agustus 2000 seluas 1790, 25 Hektar, dan menyebutkan termasuk lahan Kelompok Tani Manunggal.
Surat ini menjelaskan bahwa lahan kelompok Tani Manunggal belum dibebaskan atau diganti rugi. "Namun Majelis hakim Peninjauan Kembali menolak upaya hukum Kelompok Tani Manunggal. Ada apa," ujar Anton.
Oknum Pengadilan Minta Rp 1 M
BACA JUGA:Pemkab Mesuji Gelar Istigosah dan Doa Bersama di Wisata Religi Simpang Pematang
Anton juga mengungkapkan bahwa saat Kelompok Tani Manunggal mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ada oknum Pengadilan meminta uang sebesar Rp. 1 Milyar jika ingin gugatan masyarakat tersebut dikabulkan, namun masyarakat tak mampu memenuhinya yang akhirnya gugatan mereka ditolak. "Ini membuktikan mafia peradilan agama atau mafia hukum masih marak terjadi di Negara yang katanya Negara Hukum. Dimana moral oknum penegak hukum kita ketika masyarakat menuntut keadilan?," ujar Anton setengah bertanya.