Ladang Masih Tradisional, Saat Dunia Sudah Digital

--
Nama Penulis: Elsa Nur Syahbana
Program Studi: Agribisnis
Universitas: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
RADARMETRO.DISWAY.ID -- Ketika revolusi digital mulai merambah berbagai sektor di Indonesia, sektor pertanian pun tidak luput dari perubahan yang cukup berarti. Berbagai inovasi teknologi seperti drone penyemprot pupuk, sensor kelembapan tanah, hingga aplikasi pemantauan cuaca dan pasar hasil tani mulai diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Namun, meskipun teknologi sudah berkembang pesat, masih banyak petani kecil di Indonesia yang belum merasakan manfaat langsung dari transformasi digital ini. Sementara dunia sudah memasuki era pertanian presisi dan kecerdasan buatan, ladang-ladang di banyak pelosok negeri masih dikelola dengan cara-cara tradisional yang diwariskan secara turun-temurun.
Kesenjangan digital di sektor pertanian Indonesia sangat mencolok. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sekitar 80% petani di Indonesia merupakan petani kecil dengan lahan kurang dari 0,5 hektar. Mereka masih mengandalkan metode bertani tradisional yang sederhana, seperti penggunaan cangkul dan alat manual lainnya.
Sebaliknya, teknologi pertanian modern seperti drone dan sensor tanah lebih banyak dimanfaatkan oleh perusahaan agribisnis besar atau petani dengan modal kuat yang berada di daerah-daerah dengan infrastruktur internet memadai.
Laporan Kementerian Pertanian tahun 2024 juga menunjukkan bahwa hanya sekitar 15% petani kecil yang memiliki akses dan kemampuan menggunakan teknologi digital dalam aktivitas bertani mereka. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk keterbatasan literasi digital, biaya investasi alat teknologi yang tinggi, serta kurangnya pendampingan dan pelatihan.
Sebagai gambaran, fenomena ini sangat jelas terlihat di dataran tinggi Dieng. Di wilayah tersebut, petani masih sangat bergantung pada pengalaman turun-temurun untuk menentukan waktu tanam dan panen. Mereka menggunakan alat tradisional seperti sabit dan cangkul, tanpa bantuan teknologi modern seperti sensor kelembapan tanah atau aplikasi prediksi cuaca yang bisa membantu meningkatkan hasil panen.
Berbeda dengan itu, di daerah seperti Karawang, Jawa Barat, beberapa petani besar sudah mulai menggunakan drone untuk penyemprotan pupuk dan pestisida. Penggunaan teknologi ini memungkinkan mereka menghemat waktu dan biaya, sekaligus meningkatkan hasil produksi secara signifikan. Perbedaan ini bukan hanya soal teknologi, melainkan juga akses terhadap informasi dan modal yang sangat berpengaruh.
Infrastruktur internet yang belum merata di pedesaan menjadi penghambat utama, sementara harga alat digital pertanian yang masih mahal membuat petani kecil sulit menjangkaunya. Akibatnya, produktivitas petani kecil tetap tidak berkembang dan rentan terhadap perubahan iklim serta fluktuasi pasar.
Dampak dari kesenjangan teknologi ini sangat serius bagi ketahanan pangan dan ekonomi petani. Ketimpangan akses teknologi berpotensi memperlebar jurang ekonomi antara pelaku usaha tani besar dan kecil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: