RADARMETRO – Pekerjaan perbaikan dan pembangunan infrastruktur jalan di Kota Metro belakangan ini menuai banyak sorotan.
Dari mulai internal Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) yang kepala dinasnya sulit berkomunikasi, pekerjaan yang banyak makan korban pengendara dan warga sekitar yang terdampak secara ekonomi, hingga proses lelang yang terkesan dipaksakan pemenangnya.
Eva Rolia, akademisi yang juga ahli di bidang infrastruktur, mengatakan, banyak persoalan yang terjadi di DPUTR Kota Metro saat ini.
Salah satunya yang disoroti adalah proses tender yang merupakan awal mula terjadinya persoalan seperti sekarang.
Yakni banyaknya penawaran yang memenangkan proyek tersebut hanya karena penawarannya paling rendah dari pagu anggarannya.
Bahkan banyak yang sampai 28 persen hingga 30 persen penawarannya dan itu dimenangkan.
“Padahal, penawaran terendah tidak selalu yang terbaik. Perlu analisis mendalam, karena kalau sudah 30 persen penawarannya turun, mustahil jalan yang digarap akan bagus,” ujar Eva Rolia.
BACA JUGA:Proyek Jalan Tak Selesai Akhir November 2023, Perusahaan Ini Bakal Diblacklist
Ia memastikan, perusahaan atau konsultan yang kredible, tidak akan pernah menurunkan penawaran pekerjaan proyek hingga 30 persen.
Menurutnya, profesional perusahaan akan menghitung seluruh aspek agar hasil pekerjaannya bagus tapi tetap bisa mendapatkan keuntungan yang sewajarnya.
“Namanya kita kerja pasti inginnya untung. Sementara dalam peraturan, keuntungan yang sah untuk perusahaan yang bekerja itu maksimal 15 persen dari nilai proyek. Kalau dari pagu anggarannya sudah turun sampai 30 persen belum lagi dipotong keuntungannya, itu sudah tidak rasional. Saya gak tahu akan seperti apa hasil pekerjaannya itu nanti. Tapi saya yakini tidak akan baik,” jelas Dosen Teknik UM Metro itu.
Salah satu contohnya, ujar Eva, perkerasan rigid beton misalnya menggunakan standar K-300 atau K-250, itu artinya dalam setiap satu sentimeter beton itu kemampuan daya tekannya 300 atau 250 kilogram.
Untuk mencapai itu, perlu adukan dan tes yang konstan dan terstandart dalam setiap pekerjaannya.
“Sekarang kalau perusahaan besar, pasti menggunakan molen yang takarannya sudah teruji. Nah biasanya untuk memperkecil biaya, kontraktor ngaduk sendiri. Pertanyaannya, bagaimana menguji atau mengetahui bahwa setiap adukannya sudah benar K-300 atau K-250 kalau kita ngaduk sendiri? Karena menguji itu, ada biayanya. Sementara para kontraktor ini mencoba menghemat biaya dengan menghilangkan tes itu,” jelasnya.
Menurutnya, pemborong dengan gaya seperti ini yang kemudian akan membuat infrastruktur Kota Metro tidak akan memiliki kualitas yang baik.