Lebih jauh lagi, legitimasi pemerintah ikut terkikis. Fenomena “politik dinasti,” pembajakan demokrasi melalui amandemen UUD yang mengakomodasi kepentingan elite tertentu, serta pemilu yang dinilai tidak adil telah menimbulkan gelombang ketidakpercayaan masyarakat. Survei Indikator Politik Indonesia pada 2024 mencatat adanya penurunan kepercayaan publik terhadap DPR dan partai politik, serta meningkatnya persepsi bahwa negara dikuasai oleh oligarki. Ini menjadi sinyal melemahnya legitimasi politik dan munculnya state capture oleh kelompok-kelompok ekonomi dan politik tertentu.
Selain itu, konflik berbasis identitas dan ketimpangan distribusi sumber daya masih kerap mewarnai dinamika sosial Indonesia. Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya alam telah memicu ketegangan di berbagai daerah. Di Papua, misalnya, eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan besar tanpa memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat lokal telah memicu protes dan konflik berkepanjangan. Ketimpangan ini mencerminkan kegagalan negara dalam menjamin keadilan sosial dan pemerataan pembangunan.
Namun, dengan semua indikator tersebut, Indonesia belum masuk kategori negara gagal. Negara ini masih memiliki kapasitas institusional dan sumber daya untuk melakukan perbaikan. Tetapi, gejala-gejala yang telah muncul jika tidak ditangani dengan serius bisa menempatkan Indonesia pada jalur kegagalan negara secara bertahap.
Dalam menghadapi situasi ini, yang dibutuhkan adalah rekonstruksi institusional—baik di bidang hukum, ekonomi, maupun politik. Pemerintah harus menegaskan kembali komitmennya pada demokrasi substantif, pemberantasan korupsi, serta pelayanan publik yang adil dan merata. Negara gagal bukanlah hasil dari satu krisis tunggal, melainkan akumulasi dari serangkaian kegagalan yang diabaikan. Maka, tugas terbesar Indonesia hari ini bukan hanya menghindari label sebagai failed state, melainkan mencegah agar negara tidak kehilangan arah dan legitimasi di mata rakyatnya.