Subsidi Tarif Tol Lampung - Palembang: Upaya Menyelamatkan Jalan Arteri, APBN/APBD, dan Kualitas Udara
Slamet Tedy Siswoyo, Dosen Universitas Muhammadiyah Metro--Ist
Oleh : Slamet Tedy Siswoyo (Dosen Universitas Muhammadiyah Metro)
RADARMETRO.DISWAY.ID -- Pagi hari di Lampung, banyak sopir mobil pribadi dan truk menghadapi pilihan sulit, lewat tol yang makin mahal, atau keluar ke jalan arteri yang lebih murah tapi macet, rawan rusak, dan penuh risiko. Sejak ada kabar kenaikan tarif tol Bakauheni - Terbanggi Besar (Bakter) dan jaringan tol trans Sumatera lainnya di koridor Lampung - Palembang, keluhan soal tol mahal, mending lewat jalur bawah saja makin sering terdengar.
Di titik ini, pertanyaannya bukan sekadar “mahal atau murah”, tetapi lebih bijak mana untuk negara; menahan tarif tol lewat skema subsidi atau membiarkan kendaraan kabur ke jalan arteri lalu negara menanggung biaya kerusakan jalan, subsidi BBM bengkak, dan polusi yang jauh lebih besar?
Tol Lampung - Palembang: Investasi Besar yang Mulai Sepi
Tol di koridor Lampung - Palembang bukan proyek kecil. Ruas Bakauheni - Terbanggi Besar (Bakter), Terbanggi Besar - Pematang Panggang - Kayu Agung (Terpeka), dan Kayu Agung - Palembang - Betung (Kapalbetung) membentuk satu koridor utama yang memangkas waktu tempuh Bakauheni - Palembang dari sekitar 12 jam menjadi kira-kira 3,5 jam perjalanan darat. Artinya, setiap mobil yang tetap di tol sebenarnya membantu efisiensi logistik dan pergerakan orang di Sumatera bagian selatan.
Kondisi sepi ini bukan cerita baru. Pada 2023, kenaikan tarif hingga sekitar 67% di ruas Bakauheni - Terbanggi Besar sudah terbukti membuat banyak pengendara beralih ke jalur Lintas Sumatera (Jalinsum), menurut laporan berita antarafoto.com.
Memasuki akhir 2025 sebagaimana dikutip dari moladin.com, tarif tol Bakauheni - Terbanggi Besar kembali disesuaikan per 27 November 2025, dengan daftar tarif baru yang cukup signifikan untuk mobil golongan I maupun truk. Selang beberapa hari, berbagai laporan media lokal dan unggahan lapangan menggambarkan kondisi jalan tol Lampung yang makin lengang, bahkan disebut “sudah sepi sejak tarif lama, lalu makin lengang setelah kenaikan tarif sekitar 30%”.
Masalahnya, ketika kendaraan meninggalkan tol dan pindah ke jalan arteri/jalan nasional, biaya sebenarnya tidak hilang. Biayanya hanya pindah alamat ke APBN, APBD, dan juga ke paru-paru masyarakat.
Jika Mobil Kabur ke Arteri, Jalan Rusak dan Anggaran Bengkak
Jalan arteri dan jalan nasional bukanlah jalan gratis. Ia dibiayai pajak kita semua. Ketika ribuan kendaraan, terutama truk berat, berpindah dari tol ke jalan non tol, tingkat kerusakan jalan melesat lebih cepat.
Jika banyak kendaraan terutama truk logistik yang muatan dan sumbu rodanya berat kembali ke jalur non-tol Lampung - Palembang, kerusakan aspal akan makin cepat, lubang jalan makin sering muncul, dan tekanan ke APBN/APBD untuk perbaikan jalan nasional dan daerah akan melonjak.
Di ujungnya, rakyat jugalah yang membayar, entah lewat pajak, pengalihan anggaran sektor lain, atau kualitas jalan yang dibiarkan rusak lebih lama.
BBM Bersubsidi : Makin Macet, Makin Boros, Makin Besar Beban APBN
Kendaraan yang menempuh rute lebih panjang dan lebih lama di jalan arteri otomatis lebih boros BBM daripada melaju stabil di tol. Ini bukan hanya soal dompet pribadi, tetapi juga soal subsidi energi yang ditanggung negara.
Bayangkan ribuan mobil dan truk yang seharusnya melaju di tol dengan kecepatan relatif stabil 80-100 km/jam, malah merayap di jalur arteri dengan kecepatan 20-40 km/jam karena macet dan banyak titik persimpangan. Untuk jarak yang sama, konsumsi BBM akan meningkat, dan otomatis beban subsidi BBM ikut membengkak.
Artinya, ketika tarif tol terlalu tinggi hingga mendorong orang keluar dari tol, APBN bisa kebobolan dua kali; pertama untuk memperbaiki jalan yang cepat rusak, kedua untuk menutup subsidi BBM yang makin boros akibat kemacetan di jalur arteri.
Polusi dan Kualitas Hidup: Korban Tersembunyi Kebijakan Tarif
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: