Ladang Masih Tradisional, Saat Dunia Sudah Digital

--
Petani besar yang sudah mengadopsi teknologi digital mampu meningkatkan efisiensi produksi dan kualitas hasil panen, sehingga memperoleh keuntungan lebih besar. Sebaliknya, petani kecil yang tertinggal akan semakin sulit bersaing dan mempertahankan kelangsungan usahanya. Menurut laporan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) tahun 2023, penerapan teknologi pertanian digital dapat meningkatkan produktivitas hingga 20-30% jika diimplementasikan secara efektif.
Namun, manfaat tersebut hanya dinikmati oleh sebagian kecil petani yang sudah terintegrasi dengan teknologi. Jika kesenjangan ini tidak segera diatasi, maka ketahanan pangan nasional berpotensi terganggu dan kemiskinan di sektor pertanian akan semakin memburuk.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah rendahnya literasi digital di kalangan petani kecil. Banyak petani yang belum terbiasa menggunakan smartphone berbasis internet secara optimal, apalagi mengoperasikan aplikasi pertanian yang kompleks. Tanpa pelatihan dan pendampingan yang memadai, teknologi canggih justru akan terasa rumit dan tidak relevan bagi mereka.
Pendekatan inovasi yang cenderung satu arah mendesakkan teknologi tanpa memperhatikan kesiapan dan kebutuhan petani sering kali memperlebar jarak antara teknologi dan pengguna di lapangan. Hal ini menimbulkan resistensi dan ketidakpercayaan terhadap teknologi baru, sehingga petani lebih memilih bertahan dengan metode tradisional yang sudah mereka pahami dan anggap aman.
Selain tantangan literasi, faktor biaya juga menjadi penghambat utama. Harga alat-alat pertanian digital seperti drone, sensor tanah, atau sistem irigasi otomatis masih relatif tinggi dan sulit dijangkau oleh petani kecil yang bermodal terbatas.
Misalnya, harga drone pertanian di Indonesia bisa mencapai puluhan juta rupiah, jauh di luar kemampuan petani kecil. Kondisi geografis pedesaan yang jauh dari infrastruktur internet juga membuat akses terhadap informasi digital semakin terbatas.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2024, jangkauan internet di wilayah pedesaan baru mencapai sekitar 60%, jauh di bawah rata-rata nasional. Hal ini menghambat pemanfaatan aplikasi pertanian digital yang membutuhkan koneksi internet stabil, sehingga teknologi tersebut belum dapat diakses secara merata.
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut, peran pemerintah menjadi sangat penting sebagai jembatan antara inovasi teknologi dan petani kecil. Pemerintah perlu merancang dan melaksanakan program pendampingan teknologi yang berkelanjutan dan menyentuh langsung kebutuhan petani.
Program pelatihan literasi digital, subsidi alat teknologi pertanian, serta pembangunan infrastruktur internet di pedesaan harus menjadi prioritas utama. Perguruan tinggi, khususnya jurusan pertanian dan agribisnis, juga dapat berperan sebagai agen perubahan dengan mengerahkan mahasiswa untuk terlibat langsung dalam pengabdian masyarakat, praktik kerja lapangan, dan riset terapan yang berfokus pada kebutuhan nyata petani.
Contohnya, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menjalankan program “Pertanian Digital untuk Petani Kecil” yang melibatkan mahasiswa dan dosen dalam memberikan pelatihan teknologi sederhana dan terjangkau di desa-desa sekitar Yogyakarta. Komunitas petani dan organisasi non-pemerintah juga dapat memainkan peran penting dalam membangun jaringan informasi dan berbagi pengetahuan teknologi secara kolektif, sehingga memperkuat solidaritas petani dan mempercepat adopsi teknologi.
Pengembang teknologi juga harus mengambil peran aktif dengan menciptakan alat dan sistem yang sederhana, terjangkau, dan sesuai dengan kondisi petani di pedesaan. Teknologi pertanian tidak boleh hanya menjadi milik segelintir orang yang sudah kuat secara modal dan akses, melainkan harus benar-benar menyentuh tanah, menyapa petani, dan membantu mereka tumbuh bersama zaman. Inovasi harus disesuaikan dengan realitas lapangan agar benar-benar bermanfaat dan tidak menciptakan kesenjangan baru yang justru memperburuk kondisi petani kecil.
Transformasi dari pertanian tradisional ke pertanian digital memang sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Namun, transformasi ini harus dilakukan secara adil dan merata agar tidak menimbulkan kesenjangan baru yang memperburuk kondisi petani kecil.
Masa depan pertanian Indonesia hanya bisa dibangun jika semua petani besar maupun kecil mendapatkan akses yang setara terhadap teknologi. Teknologi pertanian harus hadir sebagai alat untuk mewujudkan keadilan dan keberdayaan petani, bukan sebagai penghambat yang membuat ladang-ladang kita tetap tertinggal di tengah derasnya arus digitalisasi dunia. Sudah saatnya teknologi menyentuh tanah, menyapa petani, dan membantu mereka tumbuh bersama zaman demi ketahanan pangan dan kesejahteraan bangsa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: