Lebaran di Lampung Dalam Kenangan: Di Antara Wajik, Dodol, dan Doa

Lebaran di Lampung Dalam Kenangan: Di Antara Wajik, Dodol, dan Doa--Dok Radarmetro.disway.id
oleh: Prof. Admi Syarif, PhD
BANDARLAMPUNG, RADARMETRO.DISWAY.ID -- Hari terakhir Ramadan selalu membawa rasa haru. Suasana penuh doa, harapan, dan kehangatan kembali menyelimuti setiap sudut rumah “MEpet saWAH”, Tanjoeng Senang. Esok, Idul Fitri akan tiba, mengetuk pintu hati, mengajak kita pulang—bukan hanya ke rumah, tapi juga ke kenangan “manis”. Pagi ini, usai santap sahur terakhir dibulan Ramadhan 1446H, seraya berdoa semoga diberikan kesehatan, kebahagiaan, dan dipertemukan dengan Ramadhan tahun depan, saya kembali menyelesaikan tulisan ini. Tulisan-tulisan yang semoga kelak menjadi warisan dan kenangan untuk masa depan, untuk Lampung tercinta.
Dan salah satu kenangan paling manis, saat menjelang lebaran, bagi ulun Lampung adalah aroma wajik dan dodol yang mengepul dari dapur menjelang lebaran.
Sebelum kita larut dalam cerita, mari kita buka dengan pantun kecil:
Kuda mana yang tuan senangi;
Tentu yang hitam cepat larinya;
Gadis mana yang tuan cari;
Gadis Lampung putih kulitnya.
Begitu pula dengan wajik dan dodol—dua sajian yang sejak dahulu tak pernah absen dari lebaran “ulun” Lampung. Wajik dan dodol bukan sekadar penganan . Ia adalah warisan, pelajaran, dan lambang cinta yang disimpan dalam manisnya gula dan lengketnya ketan.
Terbuat dari bahan sederhana—ketan hitam, gula aren, santan kelapa—namun memerlukan waktu panjang dan kesabaran besar untuk menyempurnakan rasanya. Dulu, ngegaleu dodol adalah ritual sakral keluarga. Ibu di dapur, anak-anak membantu, dan aroma manis mulai memenuhi rumah sejak dini hari.
Dan karena keduanya terbuat dari ketan—yang dalam bahasa kami disebut “lengket”—maka wajik dan dodol juga menyimpan harapan agar hubungan keluarga tetap lengket, erat, dan penuh kasih sayang, meski lebaran hanya datang sekali setahun. Ibunda saya pernah berkata, “Kalau bisa sabar bikin dodol, bisa sabar menghadapi hidup.” Karena setiap adukan bukan hanya mencampur bahan, tapi juga merajut harap: agar hidup manis, keluarga rukun, dan rezeki lengket terus.
Perlu kesabaran, tenaga, dan cinta dalam setiap proses ngegaleu (mengaduk) yang bisa memakan waktu berjam-jam. Saya masih ingat, ketika kecil, tangan kecil kami turut memegang kayu pengaduk besar, membantu ibu di dapur menjelang Lebaran.
Kami tak pernah mengeluh. Sebab kami tahu, dalam adukan itu, ibu sedang mengajarkan dan menanamkan nilai: kesabaran, ketekunan, dan cinta keluarga.
Manis pada wajik dan dodol bukan sekadar soal rasa—ia adalah simbol harapan dan doa yang tak terucap. Di dalam setiap tetes gula aren, tersimpan filosofi hidup “ulun” Lampung yang sederhana tapi mendalam: bahwa hidup yang dijalani dengan sabar dan ketulusan, akan meninggalkan rasa manis bagi siapa pun yang merasakannya. Maka, setiap kali kita mencicipi wajik atau dodol, secara implisit, kita sesungguhnya sedang mengucap doa untuk masa depan yang lebih baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: