Dalam organisasi media yang melaporkan isu-isu sosial atau mengkritik lembaga publik, konflik kepentingan internal bisa muncul — siapa yang diberi ruang liputan atau perlakuan, apakah semua organisasi mendapat perlakuan sama atau organisasi tempat wartawan aktif diuntungkan.
Argumen kontra yang mesti dijawab
Beberapa wartawan berpendapat bahwa:
Aktivisme dan jurnalistik bisa dipisahkan, yakni ia akan menjaga agar aktivitas LSM-nya tidak memengaruhi kerja jurnalistiknya.
Profesionalisme bisa menjaga batas, sehingga tidak akan ada konflik kepentingan.
Namun, di lapangan kenyataannya seringkali batas itu kabur. Manusia tidak selalu objektif dalam menghadapi situasi di mana kepentingan organisasi ikut terkait. Tanpa kontrol eksternal, potensi penyimpangan terbuka lebar.
Kesimpulan & Seruan
Sebagai Pecinta Literasi, saya berpandangan bahwa agar profesi jurnalistik tetap disegani, dihormati, dan dipercaya masyarakat, maka:
1. Wartawan sebaiknya tidak merangkap sebagai pengurus atau aktif sebagai aktivis LSM/ormas
Jika ingin tetap terlibat sosial, pilihlah ruang-ruang non-aktif atau bukan dalam posisi pengurus, dan hindari liputan langsung tentang organisasi tersebut.
2. Media dan lembaga pers perlu menegakkan kebijakan internal
Media bisa membuat regulasi internal bahwa karyawan redaksi atau kru jurnalistik tidak boleh merangkap jabatan organisasi luar yang berpotensi konflik.
3. Sosialisasi kode etik dan kewajiban profesional
Media, lembaga jurnalistik, dan organisasi wartawan harus terus mengedukasi anggota tentang risiko perangkapan profesi dan konsekuensi etisnya.
4. Transparansi kepada publik
Jika secara historis seseorang pernah aktif dalam LSM, sebaiknya dinyatakan dengan jelas agar publik tahu latar belakang tersebut. Tapi yang terbaik tetap: menjaga agar tidak ada tumpang tindih.