Wartawan Harus Independen: Stop Rangkap Jabatan di LSM dan Ormas

Kamis 02-10-2025,18:20 WIB
Reporter : APL-01
Editor : APL-01

Dengan menegakkan prinsip keprofesionalan jurnalistik yang murni — tanpa beban kepentingan organisasi luar — media dan wartawan bisa terus menjadi pilar utama demokrasi, menjadi pencerah publik, dan menjadi lembaga kritis yang dipercaya.

Semoga opini ini bisa menjadi bahan refleksi bagi rekan-rekan wartawan dari sabang sampao merauke dan pimpinan media, agar kita bersama menjaga marwah pers Indonesia.RADARMETRO.DISWAY.ID -- Dalam beberapa tahun terakhir, persoalan perangkapan profesi – di mana seorang wartawan juga aktif sebagai pengurus atau anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi kemasyarakatan – makin sering mendapatkan sorotan. Dewan Pers bahkan telah secara terbuka mengeluarkan imbauan agar wartawan melepaskan peran ganda tersebut demi menjaga independensi dan kredibilitas pers.

Menurut saya, keputusan Dewan Pers itu tepat, dan ada alasan-alasan mendasar mengapa profesi wartawan sebaiknya tidak merangkap sebagai aktivis LSM atau ormas. Di bawah ini saya paparkan argumentasi, sekaligus mengajak rekan-rekan wartawan dan masyarakat luas memahami pentingnya menjaga “kemurnian” profesi jurnalistik.

Dasar Regulasi dan Etika: Profesi, Independensi, dan Kepercayaan Publik

1. Landasan hukum dan kode etik jurnalistik

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebut bahwa “yang dimaksud dengan ‘Kode Etik Jurnalistik’ adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.”

Pada Pasal 7 UU Pers dinyatakan bahwa wartawan Indonesia memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Dewan Pers kemudian merumuskan Kode Etik Jurnalistik melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 sebagai landasan etis bagi semua wartawan Indonesia.

Selain itu, baru-baru ini Dewan Pers juga mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/PERATURAN-DP/IV/2024 tentang Pedoman Perilaku dan Standar Pers Profesional, yang semakin menegaskan pentingnya perilaku profesional dalam dunia pers.

Jadi, sudah ada kerangka regulasi -- baik hukum maupun etika profesi -- yang jelas menempatkan wartawan dalam posisi yang berbeda dari aktor-aktor sosial lainnya.

2. Independensi sebagai syarat mutlak profesi jurnalistik

Salah satu nilai inti dalam Kode Etik Jurnalistik adalah independensi — wartawan harus bekerja berdasarkan penilaian profesional tanpa tergantung atau terpengaruh oleh kepentingan luar.

Ketika seorang wartawan aktif dalam LSM atau ormas yang memiliki agenda tertentu, akan sangat sulit untuk memastikan bahwa keputusan jurnalistiknya — misalnya dalam memilih topik, sudut pemberitaan, narasumber — tidak dipengaruhi oleh kepentingan organisasi tersebut. Konflik kepentingan dapat muncul secara halus atau bahkan tak disadari.

3. Kepercayaan publik dan persepsi objektivitas

Pers atau media memiliki peran sosial yang besar: menyajikan informasi jujur, akurat, dan berimbang agar publik dapat mengambil keputusan berdasarkan fakta. Bila masyarakat melihat wartawan juga menjabat di organisasi aktivis, maka persepsi bahwa wartawan "berkepentingan" akan mudah muncul — dan citra media bisa tercemar.

Banyak masyarakat merasa tidak nyaman ketika ada wartawan yang “bermain di dua sisi” — sebagai jurnalis sekaligus aktivis LSM/ormas — karena dikhawatirkan jurnalisme digunakan untuk menguatkan agenda politik atau advokasi organisasi tersebut. Imbauan Dewan Pers itu menurut saya juga lahir dari keresahan sosial semacam ini.

Kategori :