Oleh: ERISA FEBRIANTI
CINDI AULIA
DEWI HARIYATI
DICKY ANDREAS
Pada tahun 2003, tim Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menemukan Orangutan betina yang disebut Pony dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Pony sebelumnya dipelihara oleh seorang penduduk di wilayah Kareng Pangi, Kalimantan Tengah.
Namun, Pony telah dimanfaatkan secara tidak manusiawi untuk kegiatan seksual dengan para pekerja pria di daerah tersebut layaknya seperti manusia dengan bayaran sebesar Rp. 38.000 disebuah rumah bordil tempat dia tinggal.
Pony diambil dari hutan Kalimantan saat masih kecil dan harus menghadapi hari-harinya yang tragis, Pony dirantai dan rambutnya dicukur setiap hari.
Pony juga dipaksa untuk mengenakan perhiasan dan parfum serta diajari untuk berputar ketika ada pria mendekat.
Kehidupan yang penuh kekerasan ini menyebabkan Pony mengalami trauma yang serius sehingga Pony sulit untuk kembali beradaptasi dengan habitat aslinya.
Tindakan yang dilakukan oleh pelaku memiliki potensi risiko yang besar terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan terutama terhadap kesejahteraan hewan yang terlibat.
BACA JUGA:Kontroversi Medis : Memahami dan Mengatasi Pelanggaran Etika dalam Pengembangan Manusia
Selain itu, penyebaran penyakit menular seksual dapat meningkat tanpa mengabaikan risiko penyakit lain yang mungkin timbul akibat hubungan seksual dengan hewan, kemudian dapat menimbulkan kekhawatiran dalam masyarakat.
Dilihat dari kasus tersebut, pelaku yang menangkap, memelihara, dan mengeksploitasi orangutan ini seharusnya diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Namun, sayangnya, pelaku tersebut tidak menghadapi konsekuensi hukum yang seharusnya.