Dalam hukum maupun nilai keagamaan, perlindungan terhadap privasi adalah hal mendasar. Islam mengajarkan, “Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin…” (QS. An-Nur: 27). Deep web pada hakikatnya adalah “rumah” digital. Tidak semua pintu boleh dibuka sembarangan. Karena itu, menyamakan deep web dengan dunia kriminal adalah kekeliruan besar.
Lapisan terdalam adalah dark web. Jika surface web adalah permukaan laut dan deep web adalah laut dalam, maka dark web adalah palung samudra. Aksesnya memerlukan perangkat khusus seperti TOR yang mampu menyamarkan identitas dan lokasi pengguna.
Di satu sisi, anonimitas di dark web dapat menjadi pelindung bagi aktivis, jurnalis, atau kelompok tertindas di negara-negara represif. Namun di sisi lain, anonimitas juga membuka ruang bagi kejahatan tanpa wajah: perdagangan narkotika, senjata, data hasil peretasan, hingga kejahatan siber terorganisir. Transaksi kripto digunakan untuk mengaburkan jejak, hukum diuji, dan moral dipertaruhkan.
Allah SWT mengingatkan, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil” (QS. Al-Baqarah: 188). Ayat ini menegaskan bahwa anonimitas tidak pernah menghapus tanggung jawab moral. Sekalipun tersembunyi dari manusia, setiap perbuatan tetap berada dalam pengawasan Tuhan.
Di titik inilah peran jaksa benar-benar diuji. Penegakan hukum di era digital tidak bisa lagi bersifat reaktif dan konvensional. Jaksa dituntut tidak hanya memahami pasal, tetapi juga mampu membaca data, memahami teknologi, serta menjaga kompas moral. Internet bukan wilayah bebas nilai, melainkan ladang ujian.
Pada akhirnya, internet adalah cermin manusia. Ia dapat menjadi sarana ilmu dan kebaikan, tetapi juga bisa berubah menjadi alat kerusakan. Yang menentukan bukan teknologinya, melainkan niat dan integritas penggunanya. Bagi Kejaksaan, khususnya fungsi intelijen, memahami lapisan internet bukan pilihan, melainkan keharusan. Sebab keadilan adalah amanah—dan amanah itu kini juga berlaku di ruang digital.