Dari Dana Mengendap ke Mesin Pertumbuhan: Mengubah Tabungan Negara Menjadi Investasi Produktif dan Inklusif

Dari Dana Mengendap ke Mesin Pertumbuhan: Mengubah Tabungan Negara Menjadi Investasi Produktif dan Inklusif

Slamet Tedy Siswoyo, Dosen Universitas Muhammadiyah Metro--Ist

Oleh : Slamet Tedy Siswoyo, Dosen Universitas Muhammadiyah Metro

 

RADARMETRO.DISWAY.ID -- Negara kita punya modal besar yang sering terlupakan: bukan hanya sumber daya alam atau demografi muda yang kuat, tetapi juga tabungan publik, dana yang dikumpulkan negara dan seharusnya berpindah menjadi kegiatan ekonomi produktif. Namun, kenyataannya, sejumlah besar dana ini masih “mengendap” di rekening pemerintah pusat atau daerah. Maka reformasi pengelolaan dana publik bukan sekadar keinginan; ia menjadi kebutuhan mendesak agar pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja bisa lebih nyata.

Mari kita mulai dengan fakta. 

Berdasarkan laporan resmi yang dikutip kumparan.com, posisi Saldo Anggaran Lebih (SAL) (yakni dana anggaran yang belum terserap atau belum dikeluarkan) pada akhir tahun 2024 tercatat sebesar sekitar Rp 457,5 triliun. Angka ini sedikit menurun dibandingkan 2023, namun tetap sangat besar. Artinya, selain fungsi anggaran yang berjalan, ada potensi besar yang “nganggur”. Sementara itu, di tingkat daerah, data menunjukkan bahwa dana pemerintah daerah yang mengendap di bank masih sangat tinggi. Menurut rilis terbaru Bank Indonesia yang dikutip cnnindonesia.com, simpanan pemda di bank tercatat mencapai sekitar Rp 234 triliun sampai September 2025. Jika dana sebesar itu masih menunggu waktu atau prosedur, maka peluang investasi publik dan padat kerja terabaikan.

Di sisi ketenagakerjaan, kondisi memang menunjukkan kemajuan: Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) nasional pada Februari 2025 berada di angka 4,76%, turun dibanding periode sebelumnya. Angka ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja bergerak ke arah yang lebih baik, namun bukan berarti tidak ada pekerjaan rumah besar. Jika kita memadukan data-data ini: dana publik yang cukup besar belum bekerja maksimal; pengangguran sudah menurun tetapi masih jutaan orang belum terserap; maka satu kesimpulan muncul: potensi besar untuk menggunakan dana publik sebagai alat penciptaan kerja dan pertumbuhan inklusif belum dimanfaatkan secara optimal.

Mengapa ini penting?

Pertama, uang publik yang mengendap adalah kesempatan yang tertunda. Setiap rupiah yang tidak segera dipakai untuk pembangunan -infrastruktur, pelayanan publik, program padat kerja- berarti satu kesempatan kerja yang tertunda, satu UMKM lokal yang tidak tumbuh, satu komunitas yang menunggu manfaat. Ketika SAL atau dana pemda “parkir” di rekening, maka mesin ekonomi lokal tidak berputar.

Kedua, skala dana publik ini memungkinkan efek pengungkit (multiplier) yang besar. Belanja publik yang dikelola secara cepat dan tepat bisa meningkatkan permintaan domestik, menyerap tenaga kerja, memperkuat rantai nilai lokal, bukan hanya memberi pekerjaan sementara tetapi menciptakan rutinitas ekonomi baru.

Ketiga, dari sisi keadilan, ketika dana bergerak ke proyek-proyek padat karya atau mendukung UMKM di daerah tertinggal, maka manfaat pembangunan tidak hanya terpusat di kota besar atau sektor kapital intensif tetapi juga menyentuh desa, wilayah pinggiran, dan kelompok yang selama ini tertinggal.

Tantangan yang harus dihadapi

Walaupun data besar terlihat menggugah, kenyataannya ada sejumlah hambatan:

• Kecepatan serapan anggaran: Banyak proyek publik yang lelangnya terlambat, dokumen persiapan belum matang, sehingga belanja terserap menjelang akhir tahun. Hal ini menyebabkan lonjakan belanja di kuartal IV, bukan distribusi sepanjang tahun.

• Fragmentasi dan koordinasi: Baik di pusat maupun daerah, rekening kas, mekanisme transfer dana, dan alur proyek bisa sangat kompleks. Sebuah dana bisa lewat pusat ke daerah (provinsi/kabupaten/kota) dan akhirnya ke proyek; setiap langkah bisa menimbulkan waktu tunggu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: