Oleh: Alfa Dera
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Lampung Tengah
RADARMETRO.DISWAY.ID -- Sebagai pengguna internet, saya pun sama seperti kebanyakan orang. Ketika kuota habis, ponsel tidak bisa dipakai untuk berselancar. Saat kuota diisi ulang, semuanya kembali normal.
Dulu, pemahaman saya tentang kuota internet juga berhenti di situ. Namun seiring menangani perkara-perkara yang bersentuhan dengan dunia digital, saya mulai belajar bahwa di balik kuota yang berkurang, ada jejak yang tidak sederhana.
Tulisan ini bukan untuk menggurui, melainkan berbagi pengalaman belajar sebagai jaksa yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Dunia hukum berubah, dan kami pun dituntut untuk terus memahami hal-hal baru, termasuk cara kerja internet.
Internet secara konsep memang terbuka dan dapat diakses siapa saja. Namun agar bisa digunakan dengan mudah, ada infrastruktur dan sistem pengelolaan yang membuat akses tersebut menjadi tertib.
Kuota internet, dalam pemahaman sederhana saya, adalah izin menggunakan jaringan dalam batas tertentu. Setiap kali izin itu dipakai, sistem operator mencatatnya.
Catatan inilah yang dalam dunia penegakan hukum dikenal sebagai Internet Protocol Detail Record (IPDR).
IPDR bukan isi pesan, bukan pula percakapan. Ia hanyalah catatan teknis: kapan koneksi terjadi, berapa lama, dan melalui jaringan apa.
Awalnya, istilah ini terdengar rumit. Namun jika dianalogikan, IPDR seperti buku tamu—mencatat kehadiran, bukan isi pembicaraan.
Hal yang sama berlaku dengan data lokasi. Setiap kali ponsel menggunakan kuota, ia terhubung ke jaringan tertentu. Dari situ, dapat diketahui wilayah keberadaan perangkat. Tidak selalu tepat hingga meter, tetapi cukup memberi gambaran posisi dalam rentang waktu tertentu.
Bagi saya, ini bukan alat yang sempurna, tetapi cukup membantu ketika dirangkai dengan bukti lain.
Dalam praktik penyidikan, kami sering berhadapan dengan keterangan yang berbeda-beda. Ada yang merasa tidak berada di suatu tempat, ada pula yang mengaku tidak menggunakan internet. Di sinilah kami belajar untuk tidak tergesa-gesa menyimpulkan. IPDR dan data lokasi bukan untuk “menyalahkan”, melainkan untuk mengonfirmasi.
Apakah keterangan itu selaras dengan catatan teknis yang ada.
Pembuktian digital, sejauh yang saya pahami, tidak pernah berdiri sendiri. IPDR dan data lokasi harus dirangkai dengan keterangan saksi, transaksi, dan barang bukti lain. Kadang kuat, kadang lemah, dan sering kali membutuhkan kehati-hatian ekstra. Semua itu kami pelajari dalam proses, bukan sekali jadi.