Alif Lam Mim: Inspirasi Nalar Pencerahan

Alif Lam Mim: Inspirasi Nalar Pencerahan

Foto: Dr. Samson Fajar, M.Sos.I.-(Istimewa)-

Penulis: Dr. Samson Fajar, M.Sos.I. (Dosen FAI UM Metro)

RADARMETRO - Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci, suci isinya, suci kebenarannya, suci Zat yang Mengfirmankanya dan suci dari segala tuduhan keburukannya.

Dengan dasar ini maka al Qur’an setiap huruf, ayat dan suratnya pasti memiliki makna dan maksud yang terkandung di dalamnya, sesuai siapa yang membaca, mengkaji nya serta memahaminya.

Ayat satu surat Ali Imran ini terdiri dari huruf-huruf muqatha’ah (huruf-huruf yang terputus) yang secara bahasa tidak disebut sebagai kata sempurna yang memiliki makna. Akan tetapi pertanyaannya adalah mungkinkah Allah SWT menurunkan ayat tanpa makna?

Dalam pendekatan profetik, sebagai sebuah metodologi pencerahan umat, para nabi sering memberikan sesuatu yang secara nalariah logika tidak dapat dipahami, akan tetapi itu memiliki makna yang terkandung didalamnya.

Sebagaimana kisah Kisah Nabi Adam as dg pohon Khuldi, Kisa Nabi Nuh as dengan Bahtera, Khidir dan Nabi Musa as, serta Musa as dengan tongkatnya. Semuanya adalah simbol yang memberikan makna tersembunyi di dalamnya.

Nabi Muhammad SAW dikaruniai mukjizat al Qur’an yang mana dominasinya adalah mukjizat kata dan kalimat, maka Allah SWT memberikan simbol-simbol yang memiliki makna secara ontologis didalamnya sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Arabi.

BACA JUGA:Rektor UM Metro Lantik Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Masa Jabatan 2024-2028

Dari segi metodologi, Ibnu Arabi termasuk memakai metode tafsir Isyari atau tafsir sufi. Sebuah metodologi tafsir yang memakai intuisi sebagai sumber dalam penafsiran dan pentakwilan yang berdasarkan pengalaman spiritual seorang mufasir.

Terlepas dari pro-kontra keabsahan metode tafsir tersebut di kalangan ulama, menurut saya pribadi tradisi tafsir ini akan tetap diterima tetapi hanya bagi golongan khusus saja (al-khawwash).

Sebagaimana kehadiran tasawuf falsafi itu juga dipahami kalangan tertentu saja, bukan orang awam secara umum.

Dasar tradisi tafsir Isyari —sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Arabi— berangkat dari hadis yang berbunyi, “Tidak ada ayat yang turun dari Al-Quran pun, kecuali ia memiliki aspek zahir dan batin, dan di setiap huruf terdapat batas pemahaman (haddun), dan di setiap batas itu terdapat terdapat rahasia (mathla’).”

Ibnu Arabi —yang tafsirnya akan saya ulas setelah ini— mengomentari hadis tersebut, bahwa tafsir itu adalah zahir, sedangkan takwil itu adalah batin.

Kalimat haddun itu adalah pemahaman yang dihasilkan dari huruf, sedang mathla’un itu adalah pemahaman di balik huruf yang mengantarkan seseorang naik mengetahui makna-makna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: